http://sekolah-sde.blogspot.com/2014/08/cara-verval-nisn-peserta-didik.html
Kamis, 27 Agustus 2015
Senin, 24 Agustus 2015
MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan
Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization
(UNESCO), terhadap kualitas pendidikan
di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati
peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru,
kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi
anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah
memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya.
Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan
potensi para siswa. Pendidikan
seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu
yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan
yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif.
Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa
diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan
semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah
tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan
tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum
dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah.
Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa
menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang
tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badan pendidikan
dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat
terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut
menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru
merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca,
Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia.
Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14
negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk
meningkatkan kualitas pendidikan. Dari sinilah penulis mencoba untuk membahas lebih dalam mengenai pendidikan di Indonesia dan segala dinamikanya.
B. Pembatasan Masalah
Dari
uraian di atas dilihat begitu kompleksnya permasalahan dalam pendidikan
yang ada di Indonesia. Oleh karena itu Penulis membatasi beberapa
masalah dalam penulisan makalah dengan “Masalah-masalah mendasar
pendidikan di Indonesia, Kualitas pendidikan di Indonesia, dan Solusi
Pendidikan di Indonesia.
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Sesuai
dengan pembatasan masalah di atas, maka tujuan penulisan adalah untuk
mengetahui masalah-masalah apa saja yang terjadi pada pendidikan di
Indoensia yang dillihat dari kualitas pendidikannya semakin hari semakin
menurun.
2. Manfaat
Dari
penulisan ini diharapkan mendatangkan manfaat berupa penambahan
pengetahuan serta wawasan penulis kepada pembaca tentang keadaan
pendidikan sekarang ini sehingga kita dapat mencari solusinya secara
bersama agar pendidikan di masa yang akan dapat meningkat baik dari segi
kualitas maupun kuantitas yang diberikan.
BAB II
LANDASAN TEORI
Sebelum kita membahas mengenai permasalahan–permasalahan pendidikan di Indonesia, sebaiknya kita melihat definisi dari pendidikan itu sendiri terlebih dahulu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan
berasal dari kata dasar didik (mendidik), yaitu memelihara dan memberi
latihan (ajaran, pimpinan) mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran.
Sedangkan pendidikan mempunyai pengertian yaitu proses pengubahan sikap
dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses perbuatan, cara
mendidik.
Ki
Hajar Dewantara, sebagai Tokoh Pendidikan Nasional Indonesia, peletak
dasar yang kuat pendidkan nasional yang progresif untuk generasi
sekarang dan generasi yang akan datang merumuskan pengertian pendidikan
sebagai berikut :
Pendidikan
umumnya berarti daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti
(kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual dan tubuh anak); dalam
Taman Siswa tidak boleh dipisahkan bagian-bagian itu agar supaya kita
memajukan kesempurnaan hidup, kehidupan, kehidupan dan penghidupan
anak-anak yang kita didik, selaras dengan dunianya (Ki Hajar Dewantara,
1977:14)
Dari etimologi dan analisis pengertian pendidikan di atas, secara singkat pendidikan
dapat dirumuskan sebagai tuntunan pertumbuhan manusia sejak lahir
hingga tercapai kedewasaan jasmani dan rohani, dalam interaksi dengan
alam dan lingkungan masyarakatnya.
Pendidikan merupakan proses yang terus menerus, tidak berhenti. Di dalam proses pendidikan ini, keluhuran martabat manusia dipegang erat karena manusia (yang terlibat dalam pendidikan ini) adalah subyek dari pendidikan. Karena merupakan subyek di dalam pendidikan, maka dituntut suatu tanggung jawab agar tercapai suatu hasil pendidikan yang baik. Jika memperhatikan bahwa manusia itu sebagai subyek dan pendidikan
meletakkan hakikat manusia pada hal yang terpenting, maka perlu
diperhatikan juga masalah otonomi pribadi. Maksudnya adalah, manusia
sebagai subyek pendidikan harus bebas untuk “ada” sebagai dirinya yaitu manusia yang berpribadi, yang bertanggung jawab.
Hasil dari pendidikan tersebut yang jelas adalah adanya perubahan pada subyek-subyek pendidikan
itu sendiri. Katakanlah dengan bahasa yang sederhana demikian, ada
perubahan dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi
mengerti. Tetapi perubahan-perubahan yang terjadi setelah proses pendidikan itu tentu saja tidak sesempit itu. Karena perubahan-perubahan itu menyangkut aspek perkembangan jasmani dan rohani juga.
Melalui pendidikan
manusia menyadari hakikat dan martabatnya di dalam relasinya yang tak
terpisahkan dengan alam lingkungannya dan sesamanya. Itu berarti, pendidikan
sebenarnya mengarahkan manusia menjadi insan yang sadar diri dan sadar
lingkungan. Dari kesadarannya itu mampu memperbarui diri dan
lingkungannya tanpa kehilangan kepribadian dan tidak tercerabut dari
akar tradisinya.
BAB III
PEMABAHASAN
A. Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan
ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang
berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi
unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah
disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang
sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan
berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan,
menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan
seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada
murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan
sebagai “pendidikan yang menciptakan
manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan
tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang
industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan
nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau
komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan
diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau
komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini
nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan
yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo
Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan
ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap
manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi
mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi
pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang
diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan
dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu
diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya
menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan
gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh
mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang
dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan
ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap
kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari
dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan
visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya
(seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat
bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau
Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan
di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab
Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang
strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik
internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis
kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat
kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan
sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar
akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus
juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan
situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan, khususnya di Indonesia yaitu :
– Faktor internal, meliputi jajaran dunia pendidikan baik itu Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan daerah, dan juga sekolah yang berada di garis depan.Dalam hal ini,interfensi dari pihak-pihak yang terkait sangatlah dibutuhkan agar pendidikan senantiasa selalu terjaga dengan baik.
– Faktor eksternal, adalah masyarakat pada umumnya.Dimana,masyarakat merupakan ikon pendidikan dan merupakan tujuan dari adanya pendidikan yaitu sebagai objek dari pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk
sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita
yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah,
buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih
banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki
perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan
guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya
sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan
pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan
melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati
secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara
kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara
umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan
optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya
dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif,
sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Apabila
dilihat ratio guru dengan siswa, angka-angkanya cukup bagus yakni di SD
1:22, SLTP 1:16, dan SMU/SMK 1:12. Meskipun demikian, dalam hal
distribusi guru ternyata banyak mengandung kelemahan yakni pada satu
sisi ada daerah atau sekolah yang kelebihan jumlah guru, dan di sisi
lain ada daerah atau sekolah yang kekurangan guru. Dalam banyak kasus,
ada SD yang jumlah gurunya hanya tiga hingga empat orang, sehingga
mereka harus mengajar kelas secara paralel dan simultan.
Bila diukur dari persyaratan akademis, baik menyangkut pendidikan
minimal maupun kesesuaian bidang studi dengan pelajaran yang harus
diberikan kepada anak didik, ternyata banyak guru yang tidak memenuhi
kualitas mengajar (under quality).
Hal
itu dapat dibuktikan dengan masih banyaknya guru yang belum sarjana,
namun mengajar di SMU/SMK, serta banyak guru yang mengajar tidak sesuai
dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Keadaan seperti ini menimpa
lebih dari separoh guru di Indonesia, baik di SD, SLTP dan SMU/SMK.
Artinya lebih dari 50 persen guru SD, SLTP dan SMU/SMK di Indonesia
sebenarnya tidak memenuhi kelayakan mengajar. Dengan kondisi dan situasi
seperti itu, diharapkan pendidikan
yang berlangsung di sekolah harus secara seimbang dapat mencerdaskan
kehidupan anak dan harus menanamkan budi pekerti kepada anak didik.
“Sangat kurang tepat bila sekolah hanya mengembangkan kecerdasan anak
didik, namun mengabaikan penanaman budi pekerti kepada para siswanya.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan
yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah
juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan
Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di
sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang
mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya.
Dengan
adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS)
agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup.
Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan
yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang
melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta
penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat
pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan
swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal.
Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403
PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak
memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa
Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in
Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya
berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan
di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini
prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai
negara tetangga yang terdekat.
Dalam
hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas
manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang
berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini
Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila
dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada
jauh di bawahnya.
Dalam
skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi
IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational
Achievement) di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa
kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca
untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6
(Filipina), dan 51,7 (Indonesia).
Anak-anak
Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan
ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa
menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain
itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38
negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada
urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan
tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di
asia pasifik ternyata 4 universitas terbaik di Indonesia hanya mampu
menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen Pendidikan
Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000
menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun
1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan
usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini
nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara
keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi
pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal
tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka
pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%,
Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode
yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing
tingkat pendidikan yaitu 13,4%,
14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap
tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki
keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan
tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan
dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan
dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat
masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah.
Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk
masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA
bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan
sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia pada realitanya lebih
dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu,
Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah
Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite
Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya,
Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan
MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara
terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan
dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi
ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu Pemerintah
secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan
warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas.
Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara
(BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi
atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak
lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan.
Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk
meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang
kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan
merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama
oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi
masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan
bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia.
Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya,
banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.
Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus
murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya
membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin
setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah
dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan
alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
C. Solusi Pendidikan di Indonesia
Untuk
mengatasi masalah-masalah, seperti rendahnya kualitas sarana fisik,
rendahnya kualitas guru, dan lain-lain seperti yang telah dijelaskan
diatas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
– Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan
di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi
kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain
meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik,
termasuk pendanaan pendidikan.
– Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan.
Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan
kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke
jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru.
Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan
kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga
dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan
di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat
menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian
pancasila dan bermartabat.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Banyak sekali factor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah
rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan
di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga
manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap
untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap
zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan
mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.
MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER
MAKALAH PENDIDIKAN KARAKTER
Kata
Pengantar
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat,
taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun Tugas Bahasa Indonesia
ini dengan baik dan tepat waktu.
Seperti yang telah kita ketahui “Pendidikan Karakter”
itu sangat penting bagi anak bangsa dari mulai dini. Semua akan dibahas pada
makalah ini kenapa Pendidikan Karakter
itu sangat dibutuhkan dan layak dijadikan sebagai materi pelajaran.
Tugas
ini kami buat untuk memberikan penjelasan tentang keberadaan Pendidikan
Karakter bagi kemajuan bangsa. Semoga makalah yang kami buat ini dapat membantu
menambah wawasan kita menjadi lebih luas lagi.
Kami
menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam menyusun makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun
sangat kami harapkan guna kesempurnaan makalah ini.Kami mengucapkan terima
kasih kepada Bapak Pembina mata pelajaran Bahasa Indonesia Pak widi, dan kepada pihak yang telah membantu ikut serta dalam penyelesaian
makalah ini.
Atas
perhatian dan waktunya, kami sampaikan banyak terima kasih.
Tulungagung,
27September 2012
Penyusun
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………….. i
Daftar Isi …………………………………………………………………… ii
Bab I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
1.1 Latar
Belakang …………………………………………………… 1
1.2 Rumusan
Masalah ………………………………………………… 2
1.3 Tujuan
Masalah …………………………………………………. 2
Bab
II PEMBAHASAN ………………………………………………… 3
2.1 Pengertian Pendidikan
Karakter ……………………………… 3
2.2 Pengertian Beda Karakter dan Kepribadian …………………..... 4
2.3 Contoh Program Pendidikan karakter ………………………... 5
2.4 Pendidikan
Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa……..7
2.5 Pendidikan
Karakter yang Berhasil……………………………………8
Bab
III PENUTUP ………………………………………………………. 11
3.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 11
3.2 Saran ………………………………………………………………. 12
Daftar
Pustaka
………………………………………………………………. 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang memadai
sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi sumberdaya manusia
tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, termasuk di sekolah harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga
mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan
masyarakat. Berdasarkan penelitian di Harvard University Amerika Serikat (Ali
Ibrahim Akbar, 2000), ternyata kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata
oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh
kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill
dan sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia
bisa berhasil dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada
hard skill. Hal ini mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik
sangat penting untuk ditingkatkan. Melihat masyarakat Indonesia sendiri juga
lemah sekali dalam penguasaan soft skill. Untuk itu penulis menulis makalah
ini, agar pembaca tahu betapa pentingnya pendidikan karakter bagi semua orang,
khususnya bangsa Indonesia sendiri.
1.2 Rumusan Masalah
Penulis
telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai
batasan dalam pembahasan bab isi. Adapun beberapa masalah yang akan dibahas
dalam karya tulis ini antara lain:
Apa pengertian dari pendidikan karakter itu?
Apa
pengertian dari beda karakter dan kepribadian?
Bagaimana
contoh program pendidikan karakter?
Bagaimana peran pendidikan karakter untuk kemajuan bangsa?
Bagaimana hubungan pendidikan karakter dengan keberadaban bangsa?
Bagaimana gambaran dari pendidikan karakter yang sudah berhasil?
Bagaimana peran pendidikan karakter untuk kemajuan bangsa?
Bagaimana hubungan pendidikan karakter dengan keberadaban bangsa?
Bagaimana gambaran dari pendidikan karakter yang sudah berhasil?
1.3
Tujuan Masalah
Berdasarkan
rumusan masalah yang disusun oleh penulis di atas, maka tujuan dalam penulisan
makalah ini adalah sebagai berikut:
Untuk mengetahui apa itu pendidikan karakter.
Untuk
mengetahui apa itu beda karakter dan kepribadian.
Untuk
mengetahui contoh program pendidikan karakter.
Untuk mengetahui hubungan pendidikan karakter dengan keberadaban bangsa.
Untuk mengetahui upaya-upaya dalam meningktakan mutu dari pendidikan karakter.
Untuk mengetahui bagaiamana gambaran dari pendidikan karakter yang sudah berhasil.
Untuk mengetahui hubungan pendidikan karakter dengan keberadaban bangsa.
Untuk mengetahui upaya-upaya dalam meningktakan mutu dari pendidikan karakter.
Untuk mengetahui bagaiamana gambaran dari pendidikan karakter yang sudah berhasil.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Karakter.
Karakter adalah jawaban mutlak
untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik didalam masyarakat. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama,budaya,danadatistiadat.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaansarana,prasarana,dan,pembiayaan,dan,ethoskerjaseluruhwargadanlingkungansekolah.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaansarana,prasarana,dan,pembiayaan,dan,ethoskerjaseluruhwargadanlingkungansekolah.
“Pendidikan karakter yang utuh dan menyeluruh tidak sekedar membentuk
anak-anak muda menjadi pribadi yang cerdas dan baik, melainkan juga membentuk
mereka menjadi pelaku baik bagi perubahan dalam hidupnya sendiri, yang pada
gilirannya akan menyumbangkan perubahan dalam tatanan sosial kemasyarakatan
menjadi lebih adil, baik, dan manusiawi.”(Doni Koesoema A.Ed)
2.2 Pengertian Beda
Karakter dan Kepribadian.
Kepribadian adalah hadiah dari Tuhan Sang
Pencipta saat manusia dilahirkan dan setiap orang yang memiliki kepribadian pasti ada kelemahannya dan
kelebihannya di aspek kehidupan sosial dan masing-masing pribadi. Kepribadian manusia secara umum ada 4, yaitu :
1. Koleris : tipe
ini bercirikan pribadi yang suka kemandirian, tegas, berapi-api, suka
tantangan, bos atas dirinya sendiri.
2. Sanguinis :
tipe ini bercirikan suka dengan hal praktis, happy dan ceria selalu, suka
kejutan, suka sekali dengan kegiatan social dan bersenang-senang.
3. Phlegmatis :
tipe ini bercirikan suka bekerjasama, menghindari konflik, tidak suka perubahan
mendadak, teman bicara yang enak, menyukai hal yang pasti.
4. Melankolis :
tipe ini bercirikan suka dengan hal detil, menyimpan kemarahan, Perfection,
suka instruksi yang jelas, kegiatan rutin sangat disukai.
Saat setiap manusia belajar untuk mengatasi
dan memperbaiki kelemahannya, serta memunculkan kebiasaan positif yang baru,
inilah yang disebut dengan Karakter.
Misalnya, seorang dengan kepribadian Sanguin
yang sangat suka bercanda dan terkesan tidak serius, lalu sadar dan belajar sehingga mampu
membawa dirinya untuk bersikap serius dalam situasi yang membutuhkan ketenangan
dan perhatian fokus, itulah Karakter. Pendidikan Karakter adalah pemberian
pandangan mengenai berbagai jenis nilai hidup, seperti kejujuran,
kecerdasan, kepedulian dan lain-lainnya. Dan itu adalah pilihan dari
masing-masing individu yang perlu dikembangkan dan perlu di bina, sejak usia dini
(idealnya).
Karakter tidak bisa diwariskan, karakter tidak bisa
dibeli dan karakter tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun
dan dikembangkan
secara sadar hari demi hari dengan melalui suatu proses yang tidak instan.
Karakter bukanlah sesuatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi
seperti sidik jari.Banyak kami perhatikan bahwa orang-orang dengan karakter
buruk cenderung mempersalahkan keadaan mereka. Mereka sering menyatakan bahwa
cara mereka dibesarkan yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain
atau kondisi lainnya yang menjadikan mereka seperti sekarang ini. Memang benar
bahwa dalam kehidupan, kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali kita,
namun karakter Anda tidaklah demikian. Karakter Anda selalu merupakan hasil
pilihan Anda.Ketahuilah bahwa Anda mempunyai potensi untuk menjadi seorang
pribadi yang berkarakter, upayakanlah itu. Karakter, lebih dari apapun dan akan
menjadikan Anda seorang pribadi yang memiliki nilai tambah. Karakter
akan melindungi segala sesuatu yang Anda hargai dalam kehidupan ini.Setiap orang
bertanggung jawab atas karakternya. Anda memiliki kontrol penuh
atas karakter Anda, artinya Anda tidak dapat menyalahkan orang lain atas
karakter Anda yang buruk karena Anda yang bertanggung jawab penuh.
Mengembangkan karakter adalah tanggung jawab pribadi Anda.
2.3 Contoh Program Pendidikan karakter.
A.
Lingkungan Sekolah:
v Training Guru
Terkait dengan program pendidikan karakter disekolah, bagaimana menjalankan dan melaksanakan pendidikan karakter disekolah, serta bagaimana cara menyusun program dan
melaksanakannya, dari gagasan ke tindakan.
Program ini membekali dan memberikan wawasan pada guru tentang psikologi anak, cara
mendidik anak dengan memahami mekanisme pikiran anak dan 3 faktor kunci untuk
menciptakan anak sukses, serta kiat praktis dalam memahami dan mengatasi anak
yang “bermasalah” dengan perilakunya.
v Program Bimbingan Mental
Program ini terbagi menjadi dua sesi program :
Sesi Workshop Therapy, yang dirancang khusus untuk siswa
usia 12 -18 tahun. Workshop ini bertujuan mengubah serta membimbing mental anak
usia remaja. Workshop ini bekerja sebagai “mesin perubahan instant” maksudnya
setelah mengikuti program ini anak didik akan berubah seketika menjadi anak
yang lebih positif.
Sesi Seminar Khusus Orangtua Siswa, membantu orangtua mengenali
anaknya dan memperlakukan anak dengan lebih baik, agar anak lebih sukses dalam
kehidupannya. Dalam seminar ini orangtua akan mempelajari pengetahuan dasar
yang sangat bagus untuk mempelajari berbagai teori psikologi anak dan keluarga.
Memahami konsep menangani anak di rumah dan di
sekolah, serta
lebih mudah mengerti dan memahami jalan pikiran anak, pasangan dan orang lain.
B. Lingkungan Keluarga:
v Membangun Karakter Anak Sejak Usia Dini.
Karakter akan
terbentuk sebagai hasil pemahaman 3 hubungan yang pasti dialami setiap manusia
(triangle relationship), yaitu hubungan dengan diri sendiri
(intrapersonal), dengan lingkungan (hubungan
sosial dan alam sekitar), dan hubungan dengan Tuhan YME (spiritual). Setiap
hasil hubungan tersebut akan memberikan pemaknaan/pemahaman yang pada akhirnya
menjadi nilai dan keyakinan anak.
Cara anak memahami bentuk hubungan tersebut akan menentukan cara anak
memperlakukan dunianya. Pemahaman negatif akan berimbas pada perlakuan yang
negatif dan pemahaman yang positif akan memperlakukan dunianya dengan positif.
Untuk itu, Tumbuhkan pemahaman positif pada diri anak sejak usia dini,
salah satunya dengan cara memberikan kepercayaan pada anak untuk
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, membantu anak mengarahkan potensinya
dengan begitu mereka lebih mampu untuk bereksplorasi dengan sendirinya, tidak
menekannya baik secara langsung atau secara halus, dan seterusnya.
Biasakan anak bersosialisasi dan berinteraksi
dengan lingkungan
sekitar. Ingat pilihan terhadap lingkungan sangat
menentukan pembentukan
karakter anak. Seperti kata pepatah bergaul dengan penjual minyak wangi
akan ikut wangi, bergaul dengan penjual ikan akan ikut amis. Seperti itulah, lingkungan baik dan
sehat akan menumbuhkan karakter sehat dan
baik, begitu pula sebaliknya. Dan yang tidak bisa diabaikan adalah membangun
hubungan spiritual dengan Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan spiritual
dengan Tuhan YME terbangun melalui pelaksanaan dan penghayatan ibadah ritual
yang terimplementasi pada kehidupan sosial.
2.4 Pendidikan Karakter Untuk Membangun
Keberadaban Bangsa.
Dunia pendidikan
diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi perkembangan karakter,
sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan
bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan sendi-sendi
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan norma-norma sosial di masyarakat
yang telah menjadi kesepakatan bersama. "Dari mana asalmu tidak penting,
ukuran tubuhmu juga tidak penting, ukuran Otakmu cukup penting, ukuran hatimu
itulah yang sangat penting” karena otak (pikiran) dan kalbu hati yang paling
kuat menggerak seseorang itu ”bertutur kata dan bertindak”. Simak, telaah, dan
renungkan dalam hati apakah telah memadai ”wahana” pembelajaran memberikan
peluang bagi peserta didik untuk multi kecerdasan yang mampu mengembangkan
sikap-sikap: kejujuran, integritas, komitmen,kedisipilinan,visioner,dankemandirian.Sejarah
memberikan pelajaran yang amat berharga, betapa perbedaan, pertentangan, dan
pertukaran pikiran itulah sesungguhnya yang mengantarkan kita ke gerbang
kemerdekaan. Melalui perdebatan tersebut kita banyak belajar, bagaimana toleransi
dan keterbukaan para Pendiri Republik ini dalam menerima pendapat, dan berbagai
kritik saat itu. Melalui pertukaran pikiran itu kita juga bisa mencermati,
betapa kuat keinginan para Pemimpin Bangsa itu untuk bersatu di dalam satu
identitas kebangsaan, sehingga perbedaan-perbedaan tidak menjadi persoalan bagi
mereka.
Karena itu
pendidikan karakter harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan
konstitusional UUD 1945. Sejarah Indonesia memperlihatkan bahwa pada tahun
1928, ikrar “Sumpah Pemuda” menegaskan tekad untuk membangun nasional
Indonesia. Mereka bersumpah untuk berbangsa, bertanah air, dan berbahasa satu
yaitu Indonesia. Ketika merdeka dipilihnya bentuk negara kesatuan. Kedua
peristiwa sejarah ini menunjukan suatu kebutuhan yang secara sosio-politis
merefleksi keberadaan watak pluralisme tersebut. Kenyataan sejarah dan sosial
budaya tersebut lebih diperkuat lagi melalui arti simbol “Bhineka Tunggal Ika”
pada lambang negara Indonesia.
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan,budayabangsa
“Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. (MuktionoWaspodo)
Dari mana memulai dibelajarkannya nilai-nilai karakter bangsa, dari pendidikan informal, dan secara pararel berlanjut pada pendidikan formal dan nonformal. Tantangan saat ini dan ke depan bagaimana kita mampu menempatkan pendidikan karakter sebagai sesuatu kekuatan bangsa. Oleh karena itu kebijakan dan implementasi pendidikan yang berbasis karakter menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka membangun bangsa ini. Hal ini tentunya juga menuntut adanya dukungan yang kondusif dari pranata politik, sosial, dan,budayabangsa
“Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa” adalah kearifan dari keaneragaman nilai dan budaya kehidupan bermasyarakat. Kearifan itu segera muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat realitas plural yang terjadi. Oleh karena itu pendidikan harus diletakan pada posisi yang tepat, apalagi ketika menghadapi konflik yang berbasis pada ras, suku dan keagamaan. Pendidikan karakter bukanlah sekedar wacana tetapi realitas implementasinya, bukan hanya sekedar kata-kata tetapi tindakan dan bukan simbol atau slogan, tetapi keberpihak yang cerdas untuk membangun keberadaban bangsa Indonesia. Pembiasaan berperilaku santun dan damai adalah refreksi dari tekad kita sekali merdeka, tetap merdeka. (MuktionoWaspodo)
2.5 Pendidikan
Karakter yang Berhasil.
Keberhasilan program pendidikan karakter dapat diketahui melalui pencapaian indikator oleh peserta didik sebagaimana tercantum dalam Standar Kompetensi Lulusan SMP, yang antara lain meliputisebagaiberikut:
Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai
dengan tahap perkembangan remaja.
Memahami kekurangan dan kelebihan
dirisendiri.
Mematuhi aturan-aturan sosial yang
berlaku dalam lingkungan yang lebih luas.
Menghargai
keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam lingkup
nasional.
.Menunjukkan sikap percaya diri.
Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara logis, kritis,dankreatif.
Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif.
Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Menunjukkan kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Mendeskripsikan gejala alam dan social.
Memanfaatkan lingkungan secara bertanggungjawab.
Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara demi terwujudnya persatuan dalam Negara kesatuan Republik Indonesia.
Menghargai karyaseni dan budayanasional.
Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya.
Menerapkan hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik.
Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dansantun.
Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai adanyaperbedaanpendapat.
Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis naskah pendek sederhana.
Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa IndonesiadanbahasaInggrissederhana.
Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan menengah.
Memilikijiwakewirausahaan.
Menunjukkan sikap percaya diri.
Pada tataran
sekolah, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya
sekolah, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang
dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah harus
berlandaskan nilai-nilai tersebut.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan di atas penulis dapat menyimpulkan beberapa kategori yaitu:
Bangsa Indonesia telah berusaha untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter melalui sekolah-sekolah, terutama Sekolah Menengah Pertama (SMP), karena anak usia SMP sangat cocok untuk diberi pembelajaran tentang pendidikan karakter.
Guru adalah orang tua para siswa. Karenanya, Rosulullah melarang para orangtua (guru) mendoakan keburukan bagi anak-didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak merupakan hal yang berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa depannya.
Bangsa Indonesia telah berusaha untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter melalui sekolah-sekolah, terutama Sekolah Menengah Pertama (SMP), karena anak usia SMP sangat cocok untuk diberi pembelajaran tentang pendidikan karakter.
Guru adalah orang tua para siswa. Karenanya, Rosulullah melarang para orangtua (guru) mendoakan keburukan bagi anak-didiknya. Mendoakan keburukan kepada anak merupakan hal yang berbahaya. Dapat mengakibatkan kehancuran anak dan masa depannya.
Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan
hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter
dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.
Bila pendidikan karakter telah mencapai keberhasilan, tidak diragukan lagi kalau masa depan bangsa Indonesia ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Dan bila pendidikan karakter ini mengalami kegagalan sudah pasti dampaknya akan sangat besar bagi bangsa ini, negara kita akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain.
Bila pendidikan karakter telah mencapai keberhasilan, tidak diragukan lagi kalau masa depan bangsa Indonesia ini akan mengalami perubahan menuju kejayaan. Dan bila pendidikan karakter ini mengalami kegagalan sudah pasti dampaknya akan sangat besar bagi bangsa ini, negara kita akan semakin ketinggalan dari negara-negara lain.
3.2 Saran
Pemerintah harus selalu memantau atau mengawasi dunia pendidikan, karena
dari dari dunia pendidikan Negara bisa maju dan karena dunia pendidikan juga
Negara bisa hancur, bila pendidikan sudah disalah gunakan.
Selain mengajar, seorang guru atau orang tua juga harus mendo’akan anak atau muridnya supaya menjadi lebih baik, bukan mendo’akan keburukan bagi anak didiknya.
Guru harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada setiap peserta didik di dalam menjalani masa-masa belajarnya, karena jika tidak semua pembelajaran yang di jalani anak didik akan sia-sia. Semoga karya tulis dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi pembaca. Amiiin..
Selain mengajar, seorang guru atau orang tua juga harus mendo’akan anak atau muridnya supaya menjadi lebih baik, bukan mendo’akan keburukan bagi anak didiknya.
Guru harus memberikan rasa aman dan keselamatan kepada setiap peserta didik di dalam menjalani masa-masa belajarnya, karena jika tidak semua pembelajaran yang di jalani anak didik akan sia-sia. Semoga karya tulis dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi pembaca. Amiiin..
DAFTAR
PUSTAKA
Langganan:
Postingan (Atom)